Tentu sedulur semua sudah tau artinya bahwa “sejarah” itu maksudnya mengunjungi tetangga kanan kiri hingga yang agak jauh, saudara paling dekat hingga yang agak jauh, guru-guru, kyai-kyai, tokoh masyarakat dan siapa saja.
Kunjungan dalam “sejarah” dimaksudkan untuk menyambung tali silaturrahmi dan saling memaafkan. Betapa mulianya. Meskipun mungkin paginya sudah bertemu dan bersalaman di Masjid selepas sholat ied, tapi bagi wong Ponorogo belum lengkap rasanya jika belum “sejarah” ke rumah. Sebuah budaya yang luhur!
Selain di Ponorogo saya pernah tinggal di Jombang, Jogjakarta, Pasuruan, Gresik dan Surabaya. Di tempat-tempat lain tadi semangat “sejarah” tidak sedahsyat dibanding apa yang kita lakukan di Ponorogo. Bahkan di Magetan yang tonggo gedhek dengan kita, kultur “sejarah”-nya sudah beda. Coba yang punya dulur di sana, akan merasakan sepi atau biasa-biasa saja ketika Iedul Fitri tiba.
Apalagi di Surabaya, habis sholat ied ya sudah. Sibuk sendiri-sendiri di rumah, jalan-jalan ke mall atau kebun binatang atau makan-makan dengan keluarga besar. Tidak ada “sejarah” ke tetangga kanan kiri dalam satu kampung. Apalagi setelah tinggal di kompleks perumahan, habis sholat ied ya sudah, ndekem di rumah masing-masing. Mungkin hanya saudara dan kenalan yang dekat saja yang di-”sejarah”-i.
Tapi di Ponorogo-pun saya rasakan semangat ‘sejarah” sudah mulai luntur. Dulu jaman saya masih TK, saya bersama kelompok anak-anak sekitar rumah yang jumlahnya puluhan bisa “sejarah” hingga ke dusun sebelah-sebelah. Setiap rumah dimasuki, salaman, duduk sebentar menikmati suguhan, lalu pamit. Yang bertugas kulonuwun dan pamitgiliran.
“Pak Katemun, amergi sejarah kulo sak konco sampun cekap, kulo sak konco badhe nyuwun pamit”. Untuk pamit seperti itu saja waktu itu bisa ndredheg dan gobyos! Perlu latihan beberapa bodo (lebaran) supaya lancar.
Criping, rangginan, manco, jadah, iwel-wel, apem, lemper, omah tawon, krupuk iwak, madu mongso, jenang, telo godhog, kacang godhog, dele godhog, dan gedhang godhog, adalah suguhan favorit waktu itu. Saya paling suka ambil omah tawon dankrupuk iwak.
Sekarang apa masih ada ya seperti itu Mungkin masiha da, tapi radius-nya makin menyempit. Pas saya SMP tahun 1996-an radiusnya tinggal se-dusun. Lalu pas SMA tahun 1999-an sudah menyempit lagi se-blok. Blok lor-an dan kidul-an. Anak-anak kecilnya sudah tidak seperti saya TK dulu.
“Sejarah” adalah budaya asli Ponorogo yang sangat baik untuk dilestarikan. Meskipun sekarang ibarat anak TK saja sudah punya HP buat kirim ucapan selamat lebaran dan saling bermaafan via SMS, tidak ada salahnya jika budaya “sejarah” tadi dihidupkan kembali.
Monggo, mulai sekarang bikin rencana sama konco-konco di lingkungannya, nanti bodomau “sejarah” ke mana saja.
Insya Allah lebaran ini saya mudik ke Ponorogo. Meski cuman 3 hari pulang ke Danyang, pengen rasanya menikmati suasana “sejarah” khas Ponorogo. Juga pengen nyruputDawet Jabung, sarapan Sego Pecel Tumpuk, mbungkus Sate Ayam Setono, madang Soto Yu Situk Pasar Kulon Kali (Danyang), dolan ke Telaga Ngebel dan mlaku-mlaku ke Aloon-aloon tuku iwak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar